Setelah jeda beberapa waktu, akhirnya kuberanikan diri untuk menceritakan bagaimana proses melahirkan anakku. Maaf atas segala keterlambatan ceritaku, karena sebenarnya tadinya bingung mau diceritakan atau ga, finally karena ada teman blogger yang bertanya tentang proses menuju kelahiran di bidan langgananku itu, niatku cerita untuk kebaikan semoga bermanfaat buat semua yang membaca cerita ini. Begini ceritanya,
Dini hari tepat pukul 12.15 (aku lupa-lupa ingat tepatnya tapi tidak jauh dari jam itu), aku terbangun entah kenapa aku merasa seperti ada sesuatu yang keluar, apa ngompol? karena memang kehamilan di umur 37-38 minggu kandung kemih semakin tertekan sehingga akan semakin sulit menahan buang air kecil dan kemungkinan bisa ngompol seperti merembes ke underwear. Oke, jangan panik…awalnya sudah mulai feeling..apa ini waktunya…apa sudah datang tandanya…apa hari ini (jumat). Jumat memang hari yang kuidamkan untuk aku melahirkan, aku dan suamiku setuju kalau semua hari adalah baik tapi jika Allah berkenan dan izinkan di hari Jumat maka itu sebuah hadiah buat kami semua.
Benar aja, aku intip dan cek di underwear ternyata memang sudah keluar gumpalan darah bukan sekedar bercak darah. Kami memang hanya berdua di rumah, dan jauh hari sudah menyiapkan tas untuk melahirkan jika sewaktu-waktu datang waktunya. Aku panggil suamiku yang sedang bekerja, karena dia memang jadwal kerjanya malam jadi dia selalu terjaga di malam hingga subuh tiba. Kami bergegas, aku segera ganti kostum pakai daster dan jalan sambil tetap berdoa.
Karena jarak ke bidan langganan cuma sekitar 5-6 rumah maka kami sampai cukup cepat sekitar jam 1-2 dini hari (kurleb karea lupa tepatnya jam berapa). Tekan bel, akhirnya dibukakan gerbang, dan kami masuk kamar kelas 3. It does’t matter mau di kamar mana yang penting bisa deliver baby-ku dengan tenang.
Aku dimasukkan ruang melahirkan untuk dicek dulu, sudah bukaan berapa. Too early, masih bukaan 2, tapi bidan bilang kita ga akan pernah tau kapan akan melahirkannya yang jelas masih lama, karena masih bukaan 2 kan bukaannya sampai 10. Oke, aku dan suami pindah ke ruang istirahat/kamar kelas 3 di dalamnya ada dua tempat tidur dengan satu kamar mandi di dalamnya lengkap dengan WC duduk dengan flush yang agak macet karena harus siram manual. Its okay…yang penting kamar bersih dan semua rapi. Syukurlah, di kamar itu hanya ada aku yang akan melahirkan di hari jumat sehingga tempat tidur satunya bisa dipakai suami atau adik iparku yang perempuan.
Aku terus saja bergerak, berjalan, berjongkok, tidak dibawa tiduran, karena katanya memang harus banyak bergerak supaya cepat turun dan memudahkan proses melahirkan. Baiklah ikuti saja saran mereka yang sudah ahli/yang sudah pernah melahirkan. Sampai akhirnya sejam kemudian dicek lagi oleh bidan itu, tanpa pelumas…sakitnya minta ampun…katanya belum,,masih bukaan 2. Sejam kemudian diperiksa lagi masih bukaan 2, sejam kemudian pun sudah nambah tapi satu bukaan saja jadi baru bukaan 3. What??? oke..jangan panik, itu biasa terjadi (caraku dan suamiku menenangkan diri). Sehari semalam mulai jumat dini hari hingga sabtu pagi masih sampai bukaan 3. Plus, masih terus mules-mules…. “enjoy”
Akhirnya aku coba untuk tiduran saja karena sudah sedikit kelelahan juga meski terus bersemangat ingin terus bergerak, suami tidak tega liat aku mules sambil kecapean. Keesokan harinya adik ipar datang, syukurlah ada yang bisa membantu suamiku, karena kita sama-sama lelah semalaman terjaga terus, tidur tidak nyenyak.
Pukul 8 pagi (kurleb) hari sabtu, bidan muda akhirnya cek, bidan yang ini baik, tapi sayang sekarang dia sudah pindah tidak bekerja dengan bidan yang itu yang biasanya periksa aku alias bidan senior disitu. Periksa pakai pelumas, tidak sakit sama sekali, sudah bukaan 2. Wah sedikit lega, tambah semangat, meski sambil terlihat agak kelelahan.
Tiba-tiba bidan senior panggil suamiku dan bilang, kalo sampai jam 10 tidak nambah bukaannya, maka mungkin akan kita induksi dan kemungkinan terburuk akan dioperasi dan kita rujuk ke rumah sakit Ciawi. What??? suamiku langsung marah, ada apa? kemarin-kemarin periksa semua baik, tidak ada masalah, bahkan bidan juga bilang bisa melahirkan normal. Sempat ditanya, bidang bilang mampu menangani istri saya, kenapa tiba-tiba ngomongin operasi bikin saya emosi. Aku berusaha menenangkan suamiku, sambil menunggu bidan senior pulang antar anaknya ke sekolah, kita terus berunding bahwa jika dia (bidan bersangkutan) tidak mampu menanganiku kita putuskan pindah saja. Karena dia terkesan menakut-nakuti kita, mentang-mentang kita masih muda, tidak punya keluarga (yg dituakan) saat itu, jadi sepertinya dia bicara seenaknya aja.
Suamiku lalu telepon orangtuaku, kebetulan ibuku juga bekerja di bidang kesehatan dan sudah ahli membantu proses melahirkan. Ibuku menenangkan lalu tanya, apakah kamu masih mules, aku jawab iya. Oke, bagus. Apakah cairan yang keluar darah atau cairan berwarna lainnya, kujawab darah. Oke, bagus. Tidak ada masalah, selama air ketuban masih utuh maka tidak perlu dioperasi atau panik berlebihan. Semua baik dan normal kan, kujawab normal. Oke, tenang, ibu hari ini sampai semua akan baik-baik aja.
Benar saja, setelah pertengkaran suamiku dengan bidan senior itu, anakku yang di dalam perut ikut bereaksi mungkin dia tau apa yang sedang kami rasakan bahwa kami tidak ingin melakukan operasi karena kami yakin semua normal dan insyaallah akan berjalan dengan baik. begitu sejam kemudian diperiksa oleh bidan muda, langsung bukaan 5. Hahahaha, ternyata memang anak di dalam perut bisa merasakan apa yang dirasakan ibunya. Terbukti, dia langsung bereaksi seolah-olah memberiku semangat untuk terus yakin dan berdoa.
Bidan senior itu lalu bilang ke aku dan suamiku, bahwa aku harus diinduksi karena sudah kuatir kelelahan sudah semalaman mules dan kuatir tidak punya tenaga saat mengejan nanti (kami akhirnya tidak pindah ke RS lain). Suamiku bilang, “pokoknya selamatkan istriku dulu, istriku cuma satu”, sambil dia emosi tapi tetap kutenangkan agar aku bisa tenang saat melahirkan nanti.
Siang harinya aku pun diinduksi (sebagai catatan peserta jampersal tidak akan dijamin proses persalinannya jika telah menggunakan induksi, kata bidan senior itu-silahkan dicari tau informasinya apakah benar begitu, aku belum sempat browse n search di mbah google). Benar saja, beberapa jam kemudian perut mulai bereaksi mules semakin bertambah dalam rentang waktu yang semakin cepat. Sabtu, mulai pukul 4-6 sore mules semules-mulesnya tidak berhenti. Ampuun…banyak-banyak istighfar dan zikir… (ibuku masih di jalan dari bandaran Soekarno menuju Bogor).
Tepat pukul 6 lebih beberapa menit saya mules sekali, bidan memeriksa lalu bilang sudah bukaan 8. What???…aku sudah tidak tahan lagi bidan…trus bidan muda yang baik hati itu bilang, “teteh bilang mau melahirkan normal, berarti harus semangat dan sabar, kita harus menunggu hingga bukaan 10 baru bisa mengejan, teteh harus tahan jangan sampai mengejan, ini belum waktunya”. Oke, terus berdoa….beberapa menit kemudian aku panggil bidan lagi, karena mules sekali rasanya, sudah sulit untuk menahannya. Akhirnya bidan senior periksa dan ternyata sudah bukaan 9.
Beberapa menit kemudian, mules sekali, tiba-tiba aku merasakan sesuatu akan tumpah dari perutku. Benar saja, ternyata ketubanku pecah. Aku berteriak, “Ibu…….Ibu….”. Dia masih tetap suruh aku mungkin setengah jam lagi karena harus menunggu bukaan 10. Bidan senior lalu keluar, aku tidak tau entah apa yang dikerjakannya di luar sana. Lalu bidan muda datang, kubilang aku sudah tidak tahan mana mungkin sanggup menunggu setengah jam, lima menit saja aku sudah tak sanggup sagi, coba periksa lagi sekarang. Bidan muda lalu periksa, “iya benar, teteh sudah bukaan 10”. Kan, apa kata saya, karena mules yang ini beda rasanya benar-benar sudah tidak bisa ditahan, rasanya pengen mengejan.
Waktu itu, si bidan senior datang bersama bidang muda yang berbeda dari yang memeriksaku sebelumnya. Bidan senior menggunakan sarung tangan karet, masker, lalu bersiap untuk meraih anakku. Bidan muda di sebelah kiriku sambil membukakan kakiku agar lebih lebar (sedikit pemaksaan, karena dia mendorong kakiku saat aku sedang tegang sekali, rasanya ada yang salah saat itu, tapi aku sudah tidak memikirkan itu, aku fokus pada anakku) “Dengarkan aba-aba dari saya jika terasa mules, mengejanlah seperti yang diajarkan waktu senam dan bernafas panjang”.
Semua pelajaran waktu senam hilang kecuali cara bernafas karena suamiku ada disampingku dan terus mengajariku dan memanduku. Sementara itu, mules pertama setelah pecah ketuban dan bukaan 10 pun datang…aku malah berteriak. Aku tiba-tiba ingat sepertinya ada yang salah karena si bidan muda menghentakkan kaki dan aku merasa seperti ada bunyi robekan, entahlah dibagian mana aku pun sudah tidak bisa mikir lagi. “Rambutnya sudah keliatan, ayo terus”, kata bidan senior. Aku malah berhenti mengejan. Aku merasa mulesnya hilang dan belum datang lagi. Lalu mules kedua pun datang, kali ini aku tidak boleh gagal, aku harus mengejan dengan benar tanpa berteriak. Oke, berhasil kepala sudah keliatan, kata bidannya. Aku berhenti lagi. “lah koq berhenti, tidak boleh ini berhenti karena kepala sudah mau keluar, tidak boleh, terus mengejan, cepat, cepat”, bidan senior berteriak. Aku sambil sedikit panik, langsung memperpanjang nafas dan mengejan sekuat tenagaku. “Oek…oek…”, suara tangisan anakku (kalau di catatan dan jam bidan itu sekitar pukul 18.34 WIB). Jadi sebenarnya, proses melahirkannya cepat sekali, hanya sekitar 2-3 kali mengejan, bayi sudah lahir.
Bidan senior lalu mengangkat badannya agak tinggi, lalu memeriksa semua fisiknya dan tiba-tiba saja anakku mengeluarkan senjata ampuhnya, dia pun mengencingi wajah bidan senior itu. Entah apa yang dirasakan anakku, mungkin emosiku sebelumnya yang dia rasakan kepada bidan senior itu, entahlah.. yang jelas itu pertanda sehat, dia sudah bisa buang air kecil itu tandanya tidak ada yang terhambat, saluran kencingnya normal. Sewaktu diangkat, aku melihatnya sekilas, kedua matanya terbuka lebar dan rambutnya lebat. Apapun itu, Alhamdulillah…
Bidan senior itu lalu memeriksa semua kesehatannya, menyedot kemungkinan ada lendir di mulut. Kemudian bidan muda membersihkannya sekejap lalu dibungkus dengan bedong lalu ditimbang dan saat itu juga suamiku mengadzaninya. Sambil bidan senior mulai mempersiapkan peralatan menjahitnya. Beberapa menit kemudian, aku pun merasakan jahitan yang lumayan emm….kaki kiriku disuntik katanya ada robek dalam, entahlah, aku ngikut-ngikut saja. beberapa jahitan aku ga tau dan ga pernah nanya ke bidan itu. (dalam hatiku, pokoknya selesaikan karena aku ingin menyusui anakku). Kondisiku waktu itu, diinfus, lemah karena waktu diganti pakaian saja sudah tidak bisa gerak karena semua badan pegel dan terasa kaku plus sakit jahitan.
Sambil bidan senior dan bidan muda membereskanku dan anakku, mereka bercanda ketawa-ketawa…ngobrol sambil menjahit. Sementara aku merasa kesakitan, dan bidan senior berulang kali bilang, “jangan bergerak, jangan banyak gerak, diam, nanti susah menjahitnya”. Ya ampuun…..tertawa di atas kesakitanku… Lalu bidan senior tiba-tiba bilang, “tau ga tadi itu leher anaknya teteh kelilit tali pusarnya lho, syukurnya tali pusarnya panjang jadi tidak mencekik lehernya sehingga waktu kepala ditarik ke luar tali pusar yang longgar tidak menghalanginya, coba kalo tali pusarnya ga panjang, kebayangkan?”. Ya ampuun, dia sempet-sempetnya masih menakut-nakutiku…coba ini coba itu….(tega sekali dia dalam hatiku).
Belum lagi menjalani IMD (Inisiasi Menyusui DIni), bidan muda dan bidan senior itu lalu mendatangiku dan bilang “maaf teh, harus segera pindah ke ruang kelas 3 karena ada pasien yang akan dikuret”. Astagfirullah…IMD pun gagal, aku dibersihkan terburu-buru cepat sekali secepat kilat, badanku diguling sana guling sini (suamiku sedang menjemput ibuku di terminal Damri Bogor). Bayangkan, sakit dan rasanya seperti apa….kesel sekali rasanya waktu itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya selesai dirapihkan aku dibawa ke ruang kelas 3 dengan kursi roda, jaraknya paling 5 meter saja. Lalu aku berjalan menuju tempat tidurku dibantu oleh bidan muda. Di dalam ruang kelas 3 itu, sudah ada adik iparku yang selama ini mendampingiku, ada bouku dan anaknya, ada ibu pemilik kontrakan kami. Tidak lama kemudian, ibuku tiba langsung memeluk dan dan mencium lalu menggendong cucu pertamanya. alhamdulillah…rasanya senang sekali didampingi orang-orang yang dekat dengan kita saat itu…
Segera setelah tiba di ruang kelas 3 itu, aku langsung dibantu ibuku untuk menyusui anakku, setidaknya satu jam pertama setelah dia lahir aku tidak ketinggalan menyusuinya. Tetap semangat meskipun yang keluar memang hanya setetes demi setetes kolostrum. Itu yang paling penting buatnya…penting juga buatku, katanya proses menyusui di waktu segera setelah melahirkan itu dapat mengurangi rasa sakit setelah melahirkan.
Begitulah ceritaku waktu melahirkan, ada beberapa kejanggalan sebenarnya:
1. Terkait masalah bukaan yang lama, lalu disarankan untuk dioperasi padahal menurut ibuku selama belum pecah ketuban semua baik dan normal-normal saja.
2. Terkait masalah bukaan, seperti ditahan dan tidak dibolehkan pindah ke RS lain, dan diarahkan ke RS rujukan yang notabene jauh sekali ke Ciawi sementara itu hari sabtu, kebayangkan Bogor kalo weekend macetnya paraaaah sekali, bidan itu tidak memikirkannya.
3. Terkait jampersal dan induksi, bahwa jampersal gagal jika sudah dinduksi, pada dasarnya waktu itu aku masih merasa kuat dan tidak perlu diinduksi tapi bidan senior itu terlebih dulu menyuntikku baru mengatakan bahwa aku sudah diinduksi melalui suntikan pada infus. (Nah lho, itu uang jampersal dilaporkan gagal atau dicairkan untuk pribadi?? karena pemerintah kan tidak tau catatannya/riwayat melahirkan si ibu, mereka hanya menerima catatan dan keterangan dari si bidan, apakah sengaja dibuat gagal??)
4. Terkait masalah melahirkan, kakiku dipaksa ditekan ke bawah hingga ada robekan dalam (apakah prosedur dan cara membantu proses melahirkan memang seperti itu, karena dari informasi teman dan keluarga dan internet, tidak ada yang dipaksa seperti itu, apakah sengaja supaya aku ada robekan lalu disuntik agar menambah biaya dalam proses persalinanku, entahlah…karena waktu itu aku merasa ada yang salah dengan cara mereka).
5. Terkait pembersihan tubuh setelah melahirkan, diguling-guling, dipaksa cepat selesai karena ada pasien yang mau dikuret, padahal sakit sekali lho waktu itu, jahitan aja masih berasa kita udah digeser sana geser sini, ga taulah bentuknya kayak apa, namanya juga diburu-buru bersihinnya (rasanya koq ada yang salah dengan tata caranya tidak lembut dan tidak berperikeibuan yang baru melahirkan).
Sebaiknya, memang kalo periksa hamil jangan ke satu bidan/dokter, supaya tau jika ada sesuatu bisa membandingkan opini mereka. Sebaiknya tetap kritis, bertanya jika merasa ada sesuatu yang terasa tidak benar bila perlu segera pindah tempat melahirkan jangan menunda tidak usah memperdulikan prosedur bla..bla…bla…karena bukan mempercepat malah memperlambat penanganan proses melahirkan (based on my experince).
Saran untuk para bidan, ya mbok memperlakukan ibu yang akan melahirkan dengan lembut, penuh senyum, jangan menakut-nakuti, berperikeibuanlah, kan sama-sama ibu, tau donk rasanya gimana mau melahirkan apalagi bagi ibu-ibu yang baru pertama kali melahirkan supaya tidak trauma hamil dan melahirkan normal.
Buat para ibu-ibu muda, optimis dan tetap yakin untuk melahirkan normal, setiap ibu memang berbeda-beda prosesnya tapi insyaallah jika kuat, semangat dan yakin bisa maka akan dilalui dengan baik. Meskipun banyak orang berkata takut, sakit, ngeri, dll..saat melahirkan normal, itu semua akan terbayar dengan rasa bahagia melihat anak kita, rasa senang dan takjub yang tidak bisa dibayangkan bahwa kita sebagai ibu telah melakukan tugas kita berjuang antara hidup dan mati saat melahirkan anak yang dititipkan kepada kita. Insyaallah tidak akan sia-sia perjuangan kita itu.
Keep Fighting….