Limbah Agro untuk Bangunan Masa Depan

cabin

Gambar diambil dari sini

Pernah nonton film “The Cabin in The Woods“??? Filmnya sih bergenre horror, menegangkan dan bikin kita deg deg seer…tapi tenang aja, semua bisa duduk tenang sambil nyantai karena ulasan kali ini tidak akan seseram film itu. Di film itu, terlihat bangunannya terbuat dari kayu. Kayu jadi bahan bangunan kan sudah biasa ya, semua orang juga tau itu. Kayu itu bahan bangunan idaman yang ingin punya hunian elegan tapi terasa dekat dengan alam. Masalahnya sekarang keberadaan kayu menjadi langka karena banyaknya penebangan liar (illegal logging), pembukaan lahan menjadi pemukiman karena semakin sempitnya lahan di perkotaan, pembukaan lahan menjadi lahan pertanian/perkebunan melalui pembakaran hutan. Dulu, mertua pernah punya usaha jual beli bahan bangunan, lumayan berpengalamanlah karena sudah hampir 20 tahun beliau menggeluti usaha itu. Bahan bangunan yang dijual pun beragam, pernah masuk toko bahan bangunan kan? mulai dari macam-macam kayu keras berbentuk papan, bulat maupun balok-balok, batu bata, pasir, batu-batuan dan lain sebagainya semua ada disitu. Tapi sekarang beliau sudah berhenti menggeluti usaha itu, katanya sih “kayu sudah langka, padahal yang minta kayu banyak sekali”.

Gambar diambil dari sini

Gambar diambil dari sini

Gambar diambil dari sini

Gambar diambil dari sini

Gambar diambil dari sini

Beliau saja yang sudah ujur di usaha itu ngerti banget kalo kayu sudah langka, kayu masih salah satu dari berbagai bahan bangunan yang terus semakin langka, sebentar lagi batu-batuan, pasir mungkin akan ikut langka juga. Gimana ga? sekarang ini lagi booming-boomingnya pembangunan perumahan, gedung-gedung bertingkat, banyak developer yang mengembangkan bisnis di bidang properti, yang katanya mengusung konsep go green alias ramah lingkungan. Biasanya sih pihak developer membuat lahan terbuka serba hijau guna mengurangi emisi,  tapi apa bangunan ramah lingkungan hanya sekedar membuat taman hijau, lalu bagaimana dengan penggunaan bahan bangunannya? apakah sudah menggunakan konsep ramah lingkungan juga? salah satu tindakan preventif guna mengurangi emisi gas rumah kaca juga dapat dilakukan dengan menggunakan material/bahan bangunan yang ramah lingkungan lho.

Kita juga mesti perduli sama yang satu ini, karena semakin menipisnya bahan bangunan yang berasal dari sumber daya alam menyebabkan semakin langkanya bahan bangunan ke depannya.  Selain itu, kelangkaan juga menyebabkan orang melakukan cara liar untuk mengambil hasil bumi seperti penambangan pasir ilegal dan pengerukan tanah liar. Karenanya untuk meminimalisasi perbuatan yang tidak terpuji itu sekaligus untuk menjaga sumber daya alam yang ada saat ini, kita mesti melek teknologi agar paham dan bisa melakukan inovasi untuk menghasilkan bahan bangunan yang ramah lingkungan. Pemanfaatan limbah agro adalah salah satu inovasi menuju bangunan masa depan yang ramah lingkungan. Kebanyakan kita taunya limbah agro untuk biofuel (tongkol jagung) dan biomassa (sekam padi, jerami, serbuk gergaji). Tapi kalo limbah agro menjadi bahan bangunan ramah lingkungan belum tau kan?

Ada beberapa inovasi dari limbah agro hasil dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, yang bisa digunakan menjadi bahan bangunan masa depan yang ramah lingkungan diantaranya:

1. Genteng semen ijuk adalah genteng beton yang dibuat dari campuran pasir, semen dan ijuk sebagai pengisinya. Genteng semen ijuk ini juga dapat digunakan sebagai penutup atap sama seperti genteng lainnya.

2. Panel serat tebu berbentuk papan yang terbuat dari serat tebu. Papan ini dapat digunakan untuk langit-langit dan dinding partisi non-struktural bangunan. Serat tebu juga disebutkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan.

3. Panel Sekam padi hampir sama dengan panel serat tebu. Setelah sekam padi direndam dalam air atau digiling dicampur dengan semen dan dicetak dengan alat manual, perbandingannya 1 semen : 4 sekam padi atau maksimum 20 %.

4. Sawit block dapat menghasilkan bahan bangunan berupa conblock yang dapat digunakan untuk dinding partisi non-struktural bangunan.

Sayangnya, cukup sulit untuk mendapatkan gambar produk bahan bangunan ramah lingkungan buatan Balai Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (BalitbangPU) itu. Sementara itu, sebagai bahan perbandingan mari kita lihat beberapa limbah agro yang dijadikan bahan bangunan ramah lingkungan di luar negeri, mungkin dengan melihat beberapa inovasi dari luar negeri ini dapat menginspirasi kita untuk terus memanfaatkan limbah agro yang ada di Indonesia yang berpotensi menjadi bahan bangunan ramah lingkungan. Beberapa diantaranya adalah:

Affordable-building-materials-from-recycled-waste

Gambar diambil dari sini

1. Panel dari sekam padi, tongkol jagung dan kulit singkong. Ketiganya menghasilkan serat alami yang dapat dijadikan panel konstruksi murah dengan perekat berbasis tannin. Panel tersebut dapat mengurangi biaya konstruksi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bangunan impor.

strawjeted02

Gambar diambil dari sini

2. Komponen struktur bangunan dari batang limbah pertanian. Sebuah perusahaan di Oregon telah mengembangkan proses unik untuk menghasilkan struktur bangunan dari batang limbah pertanian dengan menciptakan sebuah mesin yang membuat balok dari batang limbah pertanian untuk konstruksi bangunan.

Semoga, ulasan ini memberikan manfaat bagi kita semua untuk terus berinovasi guna menghasilkan berbagai bahan bangunan untuk bangunan masa depan yang ramah lingkungan. Hal ini tentu sudah sejalan dengan salah satu misi dari BalibangPU yaitu menghasilkan teknologi dan rumusan kebijakan permukiman yang bermanfaat, aplikatif, inovatif dan kompetitif serta berwawasan lingkungan.

Nah, sekarang giliran kita, anda sendiri apa misi anda untuk masa depan yang lebih baik?

Referensi:
http://puskim.pu.go.id/produk-litbang/teknologi-terapan
http://puskim.pu.go.id/produk-litbang/teknologi-terapan/pemanfaatan-limbah-agro
http://puskim.pu.go.id/produk-litbang/teknologi-terapan/fenomena-gas-rumah-kaca
http://inhabitat.com/strawjet/
http://retaildesignblog.net/2011/11/03/affordable-building-materials-from-recycled-agricultural-waste/

“Tulisan ini diikutsertakan dalam event “Sayembara Penulisan Blog 2013” yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia

Basic RGB

AIR DAN KEHIDUPAN: PERANAN KEARIFAN LOKAL

Photo: Village water pump, India.

Gambar diambil dari sini

Air tidak dapat dipisahkan dari kehidupan makhuk hidup di bumi ini baik tumbuhan, hewan dan manusia. Semua memerlukan air untuk dapat terus hidup. Sebagai makhuk yang diberikan kebebasan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yaitu air, manusia hingga kini adalah pengguna air terbanyak baik untuk konsumsi maupun untuk kebutuhan hidup lainnya dimana semua perbuatannya kelak akan dipertanggungjawabkan, terutama jika sumber-sumber air bersih ternyata bukannya dijaga dan dilestarikan  malah justru ikut berpartisipasi aktif dalam mencemarinya. Bumi kita sebenarnya kaya akan air tawar, berdasarkan data dari badan organisasi internasional yaitu PBB, total volume air di bumi ini sebenarnya adalah 1,4 miliar km3 dimana volume sumber air tawar saat ini hanya sekitar 35 juta km3 atau sekitar 2,5 % saja dari total volume air yang ada di bumi. Bisa dibayangkan, volume sumber air tawar di bumi ini sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan total volume air di bumi, perlu digarisbawahi hanya 2,5 %. Disebutkan juga bahwa dari 35 juta km3 sumber air tawar yang ada 24 juta km3-nya berbentuk es dan salju permanen baik di pegunungan, antartika dan arktik. Oleh karena itu hanya sekitar 30 % (air di dalam tanah, danau, sungai) dari sumber air tawar yang tersedia untuk kebutuhan manusia. Namun saat ini, pasokan air bagi ekosistem dan manusia sebenarnya kurang dari 1 % dari total sumberdaya air tawar yang ada di bumi. Banyak hal yang menjadi penyebab minimnya dan langkanya pasokan air tawar saat ini, diantaranya adalah:

Photo: Man irrigating lettuce crops in Australia

Gambar diambil dari sini

1. Irigasi lahan pertanian. Setiap Negara memiliki areal pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Areal pertanian terutama lahan sawah irigasi bagi tanaman padi memerlukan air yang tidak sedikit. Jika dijumlahkan secara total maka penggunaan air untuk lahan pertanian termasuk yang menyebabkan jumlah pasokan air tawar menurun. Untuk itu, diperlukan teknologi yang terpadu dengan penggunaan varietas-varietas tanaman yang tidak memerlukan jumlah air yang banyak selama masa tanam. Berdasarkan data dari World Water Assessment Programme (WWAP), 70 % penggunaan air tawar adalah untuk irigasi. Kebutuhan manusia akan pangan tidak mungkin dihindari. Pangan adalah kebutuhan mendasar bagi kehidupan manusia di bumi. Jika penggunaan air untuk lahan irigasi dapat dikurangi atau diminimalisasi tentu saja diharapkan dapat meminimalisasi kelangkaan air tawar di bumi. Proses budidaya pertanian sebaiknya memperhatikan aspek kelestarian sumber air tawar yang selama ini digunakan untuk irigasi.

Photo: Pollution in the Yellow River, Mongolia

Gambar diambil dari sini

2. Pertumbuhan dan perkembangan industri terus meningkat. Di Negara-negara maju dan berkembang industri cenderung mengalami peningkatan. Salah satu indikator kemajuan suatu Negara dilihat dari pertumbuhan industrinya. Namun pertumbuhan industri yang tidak sejalan dengan program pelestarian sumberdaya air tawar justru menjadi penyebab semakin langkanya pasokan air tawar di bumi. Setiap industri memerlukan air untuk kebutuhan industrinya jika pemanfaatan air tidak dikelola dengan sebaik-baiknya atau bahkan tidak ikut melestarikan sumber-sumber air tawar maka yang terjadi justru berdampak buruk pada kehidupan manusia. Berdasarkan data dari World Water Assessment Programme (WWAP), 22 % penggunaan air tawar adalah untuk industri. Setiap industri sebaiknya diberi kewajiban menjaga kelestarian sumber air tawar sebagai wujud Corporate Social Responsibility (CSR). Kebanyakan perusahaan di dalam industri cenderung menunjukkan CSR dengan wujud bagi-bagi uang padahal yang lebih penting seperti program pelestarian sumber air tawar (wujud peduli lingkungan) menjadi terlupakan. Masa depan air justru kurang diperhatikan padahal manusia tidak dapat hidup tanpa air.

Terkait dengan tugas manusia sebagai penjaga sumber air tawar, kita semestinya mengetahui bahwa sekitar 2,6 miliar penduduk dunia tidak dapat mengakses sumber air tawar yang bersih dari total penduduk dunia yang ada. Jumlah ini tentu saja sangat memprihatinkan yang justru didominasi oleh benua Asia dan Afrika termasuk Asia Tenggara, dimana Indonesia berpijak. Dibalik hinar-binar industri yang semakin berkembang dan maju, perekonomian yang kian membaik bahkan Indonesia diprediksi akan menjadi Negara maju dan menjadi pusat ekonomi perhatian dunia, namun tidak sejalan dengan kenyataannya di lapang, bagaimana mungkin kemajuan suatu Negara tidak sejalan dengan kelestarian lingkungan terutama yang terkait dengan pelestarian sumber air tawar. Indonesia yang juga dikenal sebagai Negara maritim karena luas wilayah lautannya yang lebih luas daripada daratan tentu memiliki PR (pekerjaan rumah) yang tidak bisa begitu saja diabaikan.

Kita tidak bisa melulu menyalahkan penambahan jumlah penduduk sebagai ancaman akan langkanya sumber air tawar di bumi. Karena sebenarnya jika saja pertambahan tersebut seiring dengan peningkatan upaya pelestarian sumber air tawar yang ada maka seyogyanya air dan kehidupan manusia akan berjalan dengan sinkron. Sinkronisasi yang positif dimana manusia sebagai pengguna air harus sekaligus sebagai penanggungjawab pelestarian sumber air tawar itu sendiri. Memang tidaklah mudah mengajak ratusan juta penduduk Indonesia untuk ikut melestarikan sumber air tawar yang ada, namun bukanlah hal yang tidak mungkin jika upaya-upaya tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan kearifan lokal. Indonesia dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya, dimana Indonesia terdiri dari lima agama yang diakui, berbagai suku, adat dengan kearifan lokal yang jika diterapkan dengan sebaik-baiknya akan bermanfaat dalam upaya pelestarian sumber daya air tawar. Kita bisa memulai dari prinsip-prinsip hidup yang ada dan yang dianut oleh masing-masing warga Negara. Sebagai contoh di beberapa daerah di Indonesia terdapat suku-suku yang memang hingga kini terus menjaga dan melestarikan hutan dan alam seperti:

Gambar diambil dari sini

Suku Kajang, Bulukumba di Sulawesi Selatan, mereka disebut juga masyarakat adat Ammatoa. Mereka hidup dalam melestarikan hutan sebagai wujud dari pelestarian alam. Mereka memiliki pandangan yang arif tentang hutan dimana menurut mereka hutan adalah ibu sehingga harus dihormati dan dilindungi. Secara admisistratif dan geografis suku Kajang terdiri dari Kajang dalam dan Kajang luar. Namun, hanya masyarakat Kajang dalam yang masih memegang teguh adat masyarakat Ammatoa. Mereka hidup sederhana dan menolak semua benda yang berbau teknologi. Karena teknologi dinilai membawa dampak negatif bagi kehidupan yang dapat merusak kelestarian alam. Mirip dengan suku Rejang Julukalang di Bengkulu, mereka pun menganggap di dalam hutan terdapat kekuatan gaib yang dapat menguntungkan sekaligus membinasakan jika tidak dilestarikan.

Gambar diambil dari sini

Lebih menarik lagi, suku Kajang memegang teguh prinsip hidup “talase kamase-mase” dimana bentuk rumah yang dibangun adalah seragam tujuannya agar tidak ada saling iri yang dapat berakibat keserakahan dalam menebang pohon atau merusak hutan untuk kepentingannya sendiri. Mereka saja yang hidupnya penuh dengan kesederhanaan dan jauh dari gemerlap kota, tapi mereka sadar betul akan pentingnya menjaga hutan dan alam dengan berperilaku tidak serakah terhadap apa yang ada di alam. Hal ini menjadi pelajaran yang patut kita contoh agar air pun tidak kita gunakan dengan sembrono melainkan memanfaatkannya dengan sebaik-baik mungkin tanpa ada pemborosan yang berarti menyia-nyiakan anugerah yang Tuhan sudah berikan pada manusia.

Gambar diambil dari sini

Kubu atau suku Talangmama di Jambi/perbatasan Jambi-Riau, mereka menghuni hutan dan hidup jauh dari kesan bersih dan peradaban modern. Namun, konsistensi mereka dalam menjaga dan melestarikan hutan patut diacungi jempol. Mereka bahkan memikirkan nasib hutan dan lingkungan di masa yang akan datang jika tidak dilestarikan. Kesadaran seperti itu yang sulit didapatkan di kehidupan perkotaan. Mereka senang menyebut diri mereka “orang rimba” atau “putra gunung”. Perilaku mereka dalam menjaga alam sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa dengan melarang penebangan tunas-tunas muda dan melarang mencemari air sungai. Pola hidup ini diturunkan hingga ke generasi-generasi penerus mereka. Apabila ada yang melanggar, sanksi yang mengerikan akan menanti yaitu dikucilkan dari kumpulan mereka. Ketua adat akan bertindak tegas bagi siapapun yang berani melanggar aturan yang telah ditetapkan. Semuanya pun tunduk pada aturan dan ketua adat.

Gambar diambil dari sini

Suku Dayak Iban di Kalimantan Barat, mereka tinggal di dusun sungai utik Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Disana terdapat sungau Utik yang areanya ditumbuhi  berbagai pohon hutan seperti: meranti, rotan, kapur dan ladan. Ada sturan yang menarik, dimana satu kepala keluarga maksimal dalam setahun hanya boleh menebang 30 batang pohon, jika ada yang melanggar akan didenda sebesar Rp. 500.000. Mereka menyadari betul bahwa hutan telah memberikan mereka air bersih itulah penyebabnya mereka mengaanggap darah mereka pun bersih. Hal ini pulalah yang menjadi alas an mereka menolak berbagai tawaran investor untuk mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang cukup banyak dibuka di perbatasan Sarawak, Malaysia. Karena kearifan menjaga hutan ini, mereka diberikan penghargaan berupa sertifikat Ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia. Hidup mereka sederhana, bahkan tidak mata duitan, tawaran menggiurkan dari investor saja berani mereka tolak mentah-mentah. Mereka sungguh sadar bahwa alam telah memberikan banyak pada mereka sehingga sudah sepantasnya mereka konsisten menjaga dan melestarikan hutan.

Gambar diambil dari sini

Suku Rejang Jurukalang di Bengkulu, sama dengan suku lainnya mereka pun menjaga hutan dengan sungguh-sungguh bahkan ada undang-undang yang mengatur. Undang-undang Simbur Cahayo, dimana setiap pihak yang megelola di kawasan tertentu di dalam hamparam tanah/lingkup komunitas adat wajib menanam tanaman keras yang bernilai konservasi dan ekonomi misalnya petai, durian, dan lain-lain sebagai tanda bahwa wilayah tersebut telah dimiliki oleh seseorang atau keluarga tertentu. Mereka percaya bahwa hutan memiliki penunggu gaib sehingga ada beberapa kawasan yang tidak dihuni oleh warga karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib atau disebut dengan “hutan terlarang”. Ada lagi, penebangan pohon madu (sialang) adalah larangan keras untuk ditebang jika ditebang akan dikenakan denda setengah bangun atau setengah dari denda membunuh orang. Begitu juga dengan menebang pohon-pohon di sekitar sialang dan juga dilarang mengambil hasil panen dari sialang seluruhnya karena dianggap sebagian adalah milik penunggu hutan. Meskipun banyak yang menilai hal tersebut tidak masuk akal, sisi positifnya adalah mereka memberi contoh untuk tidak serakah bahkan dalam memanfaatkan hasil hutan.

Gambar diambil dari sini

Suku Adat Molo di Timor Tengah, mereka memang hebat karena tingkat kesadaran mereka yang tinggi sampai mereka bertekad untuk tidak memperjualbelikan hutan, tanah, air dan batu. Mereka sadar bahwa semua itu tidak dapat diciptakan oleh manusia sehingga satu-satunya yang harus dilakukan adalah melestarikan dan menjaganya. Menurut mereka, alam tidak boleh rusak karena mereka hidup disana, makan, minum, tidur bersama hujan dan angin baik siang hingga malam. Bagi mereka batu adalah nenek moyang mereka sehingga tidak akan pernah dirusak. Sebaliknya, para pengusaha berbontong-bondong datang ke hutan mengeksplor kayu, batu dan kekayaan alam lainnya tanpa memperhatikan kelestariannya. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan gaya hidup suku Adat Molo. Mereka akan berjuang melakukan protes keras jika sampai ada yang dating dan mengekplorasi hutan tempat mereka bernaung. Perlu kita ketahui bahwa pemanfaatan atau eksplorasi hasil alam boleh saja dilakukan tetapi kesadaran untuk melestarikan apa yang telah diambil dari alam baik hasil hutan, air dan batu harus tetap menjadi prioritas utama.

Baduy pesona wisata budaya banten alt 300x200 Baduy, Pesona Wisata Budaya Banten

Gambar diambil dari sini

Suku Baduy di Banten, mereka sangat konsisten dalam menjaga kelestarian hutan dan lahan dimana mereka melarang adanya penebangan hutan agar tidak terjadi bencana baik banjir, longor maupun kekeringan. Kawasan wilayah hulu Baduy memilih beberapa daerah aliran sungai (DAS) yaitu Ciujung, Cisimeut, Ciberang dan Cimadur. Jelas sekali bahwa kehidupan mereka pun tak lepas dari sumber air. Hingga kini mereka tidak memiliki jalan aspal dimana bagi warga luar yang ingin memasuki hutan ulayat Baduy dilarang membawa angkutan seperti: motor, mobil dan truk. Tujuannya agar kawasan hutan tetap terlindungi dari pencemaran. Tidak hanya hutan, mereka pun secara konsisten menjaga gunung-gunung. Kita tahu sendiri, bahwa air yang bersih bersumber dari pegunungan yang bersih. Mereka paham betul bahwa dengan melestarikan hutan dan gunung akan berdampak positif terutama dalam mengurangi dampak pemanasan global.

Suku Tougutil Si Penjaga Hutan Halmahera

Gambar diambil dari sini

Suku Togutil di Halmahera, mereka tinggal di pinggir sungai Aketajawe, pedalaman hutan di Pulau Halmahera, Maluku Utara. Mereka bahkan terkenal dengan sebutan suku penjaga hutan Halmahera. Sama seperti suku Baduy, mereka juga hidup bergantung pada hutan sehingga mereka aktif dalam menjaga dan melestarikan hutan. Cara mereka mempertahankan kelestarian hutan bukan sekedar melarang penebangan hutan, melainkan juga menanam pohon. Setiap bayi yang lahir diwajibkan menanam satu pohon dan setiap menebang satu pohon diwajibkan menanam 10 pohon. Ini patut dicontoh, upaya pelestarian hutan dimana didalamnya terdapat sungai-sungai sumber air kehidupan terus dijaga sehingga mereka dapat terus menggunakan air bersih untuk kehidupan mereka di hutan. Bukan hanya memanfaatkan air dan hutan tetapi mereka juga bertanggungjawab atas tindakan mereka untuk menanam kembali pohon-pohon yang ditebang dengan jumlah yang lebih banyak.

Suku Mentawai Yang Selalu Hidup Bersama Alam

Gambar diambil dari sini

Suku Mentawai di Pulau Siberut, kearifan mereka dalam berladang patut dipuji. Mereka tidak mengenal istilah “tebang dan bakar”. Bahkan sebelum memulai untuk membuka lahan yang bertujuan untuk berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka melakukan musyawarah terlebih dahulu untuk mencapai kesepakatan lokasi dan luas lahan yang akan dibuka dengan dipimpin oleh Tetua. Belum selesai sampai disitu, mereka bahkan melakukan survey untuk mengetahui lingkungan sekitar sebelum benar-benar membuka lahan untuk berladang yang terkadang memakan waktu hingga dua minggu. Bagi mereka, hutan, sungai, rawa, gunung, laut dan perbukitan seluruhnya adalah keramat. Mereka percaya bahwa semua yang ada di alam ada penjaganya sehingga tidak boleh dirusak dan diganggu karena mereka percaya akan tertimpa musibah atau bala jika tidak menjaganya. Secara tidak langsung, hal tersebut telah ikut melestarikan lingkungan termasuk sumber-sumber air.

Semua suku-suku tersebut telah bersepakat untuk menjaga alam dimana sumber-sumber air tawar berada. Meskipun mereka jauh dari keilmuan yang seperti dibangga-banggakan oleh masyarakat perkotaan, namun kearifan lokal yang mereka tanamkan secara turun-temurun telah membantu proses pelestarian sumber-sumber air tawar yang ada di Indonesia. Mungkin bukan mereka saja suku yang melakukannya, di luar sana masih banyak suku-suku lain di dunia yang juga turut melestarikan sumber-sumber air tawar.

Justru perilaku manusia modern yang hidup di perkotaanlah yang banyak mengabaikan pelestarian  hutan dimana sumber-sumber air tawar berada. Peranan berbagai suku dan kearifan lokal tersebut bak pahlawan yang berdiri di garda terdepan dalam pelestarian hutan dan alam padahal hidup mereka sangat jauh dari modernitas dan kesan kemewahan. Oleh karena itu, merekalah yang sebaiknya diperhatikan kehidupannya karena mereka layak mendapat predikat pahlawan hutan dan alam. Dengan terjaganya hutan dan alam maka secara otomatis sumber air tawar akan juga terjaga dan lestari. Kita yang tinggal di kota yang hanya tahu menggunakan air saja sebaiknya bercermin dan mencontoh kearifan lokal yang ada.

Tentu saja dukungan Pemerintah melalui regulasi/UU yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya air di Indonesia juga perlu dipertegas kembali. Berdasarkan UU RI no.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya air adalah termasuk di dalamnya merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air. Artinya, pengelolaan sumber daya air bukan sekedar menggunakan semata tetapi juga melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian daya rusak air, dimana justru ini yang cukup sering terlupakan. Selanjutnya di pasal yang sama pada ayat 18 disebutkan bahwa konservasi sumberdaya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumberdaya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.  Sebenarnya UU RI no.7 tahun 2004 tersebut sudah jelas mengatur bagaimana upaya konservasi atau pelestarian harus seiring dengan pengelolaan sumberdaya air yang ada bahkan harus memperhatikan kebutuhan mahkluk hidup bukan hanya manusia tetapi juga tumbuhan dan hewan.

Masalahnya adalah tingkat kesadaran, masih kurangnya kesadaran baik industri, perusahaan dan masyarakat sebagai pengguna air dalam upaya pelestarian tersebut sumber air. Mungkin sebaiknya perlu dilakukan upaya untuk mengajak masyarakat dalam rangka melakukan pelestarian sumberdaya air sejak dini agar masyarakat luas mengetahui bahwa ketersediaan air bersih sangat tergantung pada upaya kita menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar termasuk sumber air tawar yang ada di sekeliling kita (hutan, sungai, mata air, danau).

Keberlanjutan ketersediaan air untuk kebutuhan hidup kita sangat tergantung pada segala upaya kita dalam menjaga dan melestarikan sumber air tawar di sekeliling kita. Oleh karena itu, masih belum terlambat untuk memperbaharui pola pikir kita untuk bukan sekedar menggunakan/mengkonsumsi air semata melainkan turut dalam upaya pelestarian sumberdaya air dengan mencontoh dan menerapkan kearifan lokal yang ada. Ini adalah langkah bijak menuju kehidupan yang lebih baik di masa depan. Pendekatannya boleh saja lokal namun dampaknya justru global.

Daftar Pustaka

Internet:

http://www.antaralampung.com/berita/265039/suku-baduy-konsisten-lestarikan-hutan

http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Potret-Negeriku/Warisan-Nusantara/Suku-Tougutil-Si-Penjaga-Hutan-Halmahera

http://www.menlh.go.id/kearifan-suku-kubu/

http://unik-aneh.lintas.me/go/berita-setiap-saat.blogspot.com/7-suku-indonesia-yang-berjuang-menjaga-kelestarian-hutan/

http://www.unwater.org/statistics_res.html

Wirausaha Solusi Tepat Bagi Mantan TKI

Benarkah TKI adalah Pahlawan Devisa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini????

Benarkah TKI adalah Pejuang Bangsa Indonesia ini????

Jika Iya, lalu apa yang sudah Negara Kesatuan Republik Indonesia berikan pada TKI????

Sebenarnya, apa yang dibutuhkan oleh Pahlawan Devisa Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut????

Uangkah? Kemewahankah? Kekayaankah? Masa depan yang lebih menjanjikankah?

ATAU……… apa????

Beribu-ribu pertanyaan muncul di benak kita saat mendengar kata “TKI”. Entah itu konotasi negatif atau positif. Entah itu berdampak buruk atau berdampak baik. Entah itu bertujuan mensejahterakan masyarakat, khususnya TKI atau malah membinasakan. Entah itu hanya untuk kepentingan sepihak atau untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jumlah keberangkatan TKI memang memiliki trend yang menurun hingga tahun 2012 ini. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah menurunnya jumlah keberangkatan TKI berkorelasi dengan meningkatnya lapangan kerja di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Perhatikan jumlah keberangkatan TKI 2006-2012 berikut ini.

Setiap kita berhak untuk memberikan opini masing-masing. Tapi yang jelas masalah TKI masih terus mengusik dan menghantui. Setiap tahun, ada saja TKI yang bermasalah. Entah itu masalah administrasi, masalah rendahnya kemampuan, masalah penganiayaan, masalah kematian dan masih banyak masalah lainnya. Kini, yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah Negara Kesatuan Republik Indonesia melakukan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pihak yang memberangkatan TKI. Perhatikan jumlah TKI yang bermasalah dari tahun 2006 hingga 2012 berikut ini.

Setiap tahun, TKI kembali pulang ke Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Sebenarnya apa yang Pahlawan Devisa itu bayangkan dan impikan setelah pulang.

Jika setiap tahunnya para Pahlawan Devisa ini kembali dan ternyata bingung harus melakukan apa, bingung harus bagaimana, bingung untuk apa uang hasil jerih payahnya, bingung menggunakan uang hasil jerih payahnya, maka siapakah yang bertugas menolong dan mengarahkan mereka. Jelas, membebankan semua ini pada mereka adalah tidak adil. Lantas solusinya apa? Pelatihan, pendidikan, pengarahan agar mereka memiliki kemampuan manajemen dalam pengelolaan uang hasil jerih payahnya. Agar mereka mampu memanfaatkan dengan sebaik-baiknya uang hasil jerih payahnya. Agar mereka tidak kembali menjadi TKI lagi dan meninggalkan keluarga demi sebuah nama “Pahlawan Devisa“.

Banyak gagasan wirausaha yang dapat dikembangkan. Masalahnya, dukungan semua pihak sangat diperlukan oleh mereka. Sebaiknya tidak mengandalkan pemerintah. Kita, masyarakat yang berada di sekeliling mereka. Kita pun dapat membantu mereka.

Gagasan wirausaha pertama adalah kita dapat membantu menyalurkan pengalaman dan cerita mereka. Mereka selama berada di Luar Negeri, pastilah memiliki pengalaman baik pahit maupun manis. Membantu menyalurkan pengalaman mereka dan menuangkannya dalam bentuk tulisan dan memproduksinya menjadi sebuah catatan atau buku, juga akan sangat membantu mereka. Buku dapat dibaca oleh siapa saja, kapanpun dan dapat memberikan inspirasi kepada banyak orang. Saat ini cukup banyak fasilitas terutama on line yang memudahkan kita untuk membantu menyalurkan karya tulis sehingga memudahkan siapa saja untuk menyalurkan ide dan pengalaman termasuk kisah para Pahlawan Devisa.  Terutama buku memberikan royalty dimana mereka akan dapat terus memiliki penghasilan selama buku-buku tersebut terus diproduksi dan terjual. Penulis dan TKI tersebut dapat melakukan perjanjian dalam pembagian royalty sehingga keduanya saling menguntungkan.

Gagasan wirausaha kedua adalah kita dapat membantu mengajarkan mereka sebuah keahlian seperti merajut, menjahit, mengukir, memahat, menenun, membatik dan keahlian lainnya dan membuatkan web portal pemasaran on line hasil karya mereka. Karya-karya tersebut jika dikemas dengan baik tentu akan sangat menguntungkan. Selain mudah, mengajarkan keterampilan akan berdampak jangka panjang sehingga nantinya mereka memiliki keahlian yang berdaya jual tinggi. Kita dapat membantu mereka dengan membuatkan sebuah web portal dimana mereka dapat menyalurkan dan menjual karya-karya mereka dengan mudah tanpa harus memiliki toko maupun gedung usaha. Kemajuan teknologi ini dapat kita manfaatkan untuk menyediakan fasilitas pemasaran on line dimana cakupan pemasarannya lebih luas bukan hanya dalam negeri namun juga hingga ke luar negeri. Prinsipnya seperti koperasi, mudah dan menguntungkan semua pihak. Koperasinya kali ini berbentuk web portal tidak ada fisiknya namun fungsi dan manfaatnya insyaallah lebih baik. Kita dapat membantu pengelolaan web portal tersebut sehingga mereka fokus pada berkreasi dan memproduksi karya mereka saja.

Oleh karena itu, SOLIDARIAS & KEPEDULIAN, itulah yang  Pahlawan Devisa butuhkan.

Tulisan ini diperlombakan dalam Kontes Blog “Solidaritas Blogger untuk TKI” yang diadakan oleh http://buruhmigran.or.id

Semangat Gotong-Royong Paling Indonesia

Lomba Blog Paling Indonesia

Lomba Blog Paling Indonesia

Dari jaman nenek moyang dulu sampai sekarang, dari jaman SD sampai sekarang. Dari jaman sepeda ontel sampai sepeda pixie. Ada hal yang saya tidak pernah lupa dan sangat lekat dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yaitu gotong-royong. Kebiasaan gotong-royong ini sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari dan sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya masyarakat Indonesia itu gemar sekali menolong dan berkumpul bersama. Saya jadi ingat semasa SD dulu, Pak Guru pendidikan kewarganegaraan sering kali membahas dan membicarakan masalah gotong-royong. Sampai-sampai saya terus mengingatnya sebagai kebiasaan baik yang melekat dengan masyarakat Indonesia.

Gotong-royong bukan sekedar berkumpul dan berbincang-bincang. Dalam menyelesaikan pembangunan sekolah, rumah ibadah, membersihkan lingkungan perkampungan bahkan memperbaiki rumah tetangga yang sudah mulai ambruk pun, semua dilakukan dengan gotong-royong. Percaya atau tidak, gotong-royong masih menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Buktinya cukup banyak, sampai saat ini saya sering mendengar berita baik melalui media massa maupun elektronik, justru kebanyakan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat diselesaikan tanpa bantuan pihak tertentu atau pemerintah. Bukannya pihak lain atau pemerintah tidak membantu, cuma memang masyarakat Indonesia jauh lebih sensitif dan berinisiatif tinggi untuk segera menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa harus menunggu respon atau bantuan dari pihak tertentu. Seperti sekolah-sekolah yang banyak rusak dan ambruk akibat bencana angin puting beliung, dimana masyarakat bergotong-royong dalam memperbaiki sekolah tersebut. Kesadaran akan kebutuhan pendidikan dan keperdulian terhadap sesamalah yang membuat semangat gotong-royong ini terus tertanam dan terlaksana. Dan masih banyak contoh lainnya seperti memperbaiki jembatan yang rusak akibat banjir dengan biayahasil swadaya masyarakat dan gotong-royong memperbaikinya, akhirnya jembatan yang merupakan kebutuhan bersama dapat dipergunakan kembali. Ada juga pembuatan listrik tenaga air yang beramai-ramai dikerjakan oleh masyarakat sendiri, penanaman pohon kembali di hutan-hutan yang gundul (reboisasi) serta masih banyak contoh lainnya dimana seluruhnya diselesaikan dengan semangat gotong-royong.

Sungguh saya salut dan rasanya sulit menemukan kebiasaan gotong-royong ini di belahan dunia lain. Indonesia seharusnya bangga dengan adanya kebiasaan turun-temurun ini. Kita juga harus menjaga kesatuan dan persatuan bangsa kita. Buktinya adalah kebiasaan dan semangat gotong-royong  yang masih terjaga hingga saat ini. Saya pernah tinggal di sebuah negara di Asia Timur, dimana masyarakatnya hidup dengan serba kecukupan dan hidup dengan penuh kecanggihan teknologi yang modern. Tetapi ada yang saya tidak dapat rasakan dan nikmati disana, semangat gotong-royong itu tidak ada dan tidak berlaku jika tidak ada hubungan keluarga. Bagaimana sulitnya menemukan kebiasaan gotong-royong di negeri orang. Disana yang ada adalah individualisme. Artinya, setiap orang akan mengerjakan pekerjaannya masing-masing, tidak ingin diganggu dan tidak mau mengganggu. Bayangkan saja, betapa sulitnya mengumpulkan orang lain atau tetangga untuk membantu menyelesaikan atau memperbaiki semua permasalahan yang mungkin terjadi di masyarakat.

Memang, kebiasaan gotong-royong di tiap negara dipersepsikan berbeda-beda oleh masyarakatnya. Namun yang jelas di Indonesia, saya tidak pernah melihat ada kesulitan dalam mengumpulkan tetangga atau orang sekampung dalam menyelesaikan permasalahan di daerahnya masing-masing. Kebiasaan gotong-royong yang juga cukup menarik di kalangan masyarakat kita adalah saat akan melakukan pernikahan. Saya selalu memperhatikan bahwa kebiasaan tersebut masih ada dan melekat di masyarakat kita. Pernah suatu ketika, saya menghadiri pernikahan sepupu saya di Tangerang. Saya melihat semua tetangga bergotong-royong membantu pihak keluarga yang mengadakan acara pernikahan. Mereka secara mandiri melakukan pembagian tugas, ada yang bagian memasak, mencuci piring, menyapu, membuang sampah, memasang perlengkapan seperti meja, kursi, lampu, panggung, hiasan janur kuning dan lain sebagainya. Saya sampai terkagum-kagum karena bayangan saya tadinya di kota mungkin kebiasaan gotong-royong sudah tidak ada. Tapi, ini membuktikan saya telah salah menilai.

Menarik sekali, kebiasaan gotong-royong ini tentu tidak datang begitu saja. Prosesnya sangat panjang mulai dari jaman nenek moyang hingga ke era globalisasi dan modern saat ini. Mempertahankan kebiasaan tersebut tentu tidak mudah, banyak hal juga masalah yang datang memhantam negara dan bangsa kita silih-berganti. Namun, meskipun demikian saya tidak merasakan kebiasaan tersebut hilang atau terlupakan. Justru adanya masalah-masalah tersebut semakin mempererat satu dengan yang lainnya. Saya benar-benar merasa bangga dengan kebiasaan gotong-royong tersebut. Bagaimana tidak, di jaman secanggih ini saya selalu menemukan kejutan yang membuat saya selalu kagum akan Indonesia. Kalau bisa saya katakan, Gotong-royong memang Paling Indonesia. Karena mewakili sifat dan karakter masyarakat Indonesia, masih terjaga dan terlaksana hingga saat ini dan semoga akan terus terpelihara.

Selanjutnya, tugas kita semua sebagai generasi muda menanamkan dan mempertahankan semangat gotong-royong ini. Mulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga, kampung halaman hingga ke kehidupan berbangsa dan bernegara. Mari kita lestarikan kebiasaan gotong-royong bersama-sama. Semoga dengan begitu, kesatuan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap terjaga dan tidak mudah dipecah-belah oleh perbedaan. Negara Indonesia kan punya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang meskipun berbeda-beda kita tetap satu. Gotong-royong adalah salah satu kunci mempererat hubungan antar sesama. Karena sekali lagi, GOTONG-ROYONG MEMANG PALING INDONESIA.

Tulisan ini dipersembahkan untuk mengikuti LOMBA BLOG 17 TAHUN TELKOMSEL “PALING INDONESIA” oleh angingmammiri.org