Mama, “Fathir Anak yang Cerdas”

Aku memang masih tergolong baru sebagai ibu, baru 4 bulan 3 minggu….

Aku juga belum paham betul..cara bagaimana mendidik dan membesarkan anak yang baik dan benar menurut agamaku (islam)….

Tetapi semua adalah proses, proses pembelajaran, begitu kata mereka-mereka yang lebih dahulu menjalaninya….

Tulisan ini, terinspirasi dari artikel yang dipost oleh mbak Erry di blognya yang judulnya “Anak yang Kelaparan!”, aku sangat tertarik dengan artikel tersebut karena sarat akan makna dan cara mendidik anak. Oleh karena diizinkan untuk memberi kritik membangun….maka dengan senang hati aku akan share dan memberikan kritikan terhadap artikel tersebut, semoga bermanfaat untuk kita semua, aamiin… *angkat kedua tangan sambil doa…

Kesan pertama saat membaca artikel itu, aku langsung berpikir “koq tega mbak Erry, masa anaknya sampe kelaparan, gimana ceritanya…” hehehe…ternyata isinya bukan 100% tentang makanan dan kelaparan…

Karena penasaran kelas berat, akhirnya kubaca dengan perlahan-lahan dan dengan seksama *udah kayak baca UUD 1945 aja…

Mbak erry di artikel tersebut bilang kalo semenjak Fathir ditinggal ke Korea, Fathir jadi trouble maker di pergaulan anak anak komplek! Sering bikin anak orang nangis.

Jujur aja, sebenarnya aku juga agak kaget ketika julukan trouble maker diberikan pada Fathir , anak yang justru sebenarnya ingin dan mencari perhatian mamanya yang sedang jauh darinya. Posisi ibu di dalam keluarga tentu aja ga bisa digantiin oleh ayah atau nenek atau siapapun. Karena ibu adalah ibu, sosok yang memang selalu ada dan menemaninya mulai dari dalam kandungan hingga akhir hayat.

Dulu semasa kuliah, aku pernah mendengar seorang narasumber memaparkan bahwa dalam mendidik dan membesarkan anak:

Sebaiknya hindari memberikan julukan anak dengan makna negatif misalnya: anak tukang cari gara-gara, anak yang ngeseliiiin, anak pembuat masalah (semoga Fathir belum bisa baca artikel itu lalu ngritik mamanya kenapa aku dibilang trouble maker, tapi kan setidaknya orang lain sudah membaca dan berpersepsi bahwa Fathir trouble maker). Kan, ada yang bilang hati-hati dengan ucapan/mulut karena yang keluar dari mulut adalah doa. Ketika kita mengucapkan hal negatif dan berulang-ulang maka menjadi tercipta seperti itu (Semoga Fathirku sayang jika besar menjadi anak yang baik hati dan baik budi ya..aamiin). Maling Kundang aja disebut anak durhaka terus dikutuk jadi batu ama bundonya  eeh….jadi batu deh… meskipun ini adalah cerita rakyat tapi aku yakin ada dampak positif ketika kita selalu mengucap hal positif dan sebaliknya ada dampak negatif ketika kita mengucapkan hal negatif.

Padahal sebenarnya, menurutku yaa… Fathir justru merindukan mamanya, ingin diperhatikan mamanya (secara mamanya lagi asyik-asyikan main di Korea ..hehehe… becanda lho mbak..). Karena kata psikolog *sambil garuk kepala dan jungkir balik mencoba mengingat-ingat siapa gerangan nama psikolog yang ngomong itu, intinya aku pernah dengar, katanya “ketika anak tiba-tiba menjadi pembuat masalah, membuat anak orang lain nangis, mengganggu dan menjadi nakal, itu karena anak tersebut sebenarnya sedang butuh perhatian dari orang terdekatnya terutama ibunya”. Jadi kritikanku yang pertama, sebaiknya sebagai mama, ibu, mami, mimi dan bunda….yukk mari kita introspeksi diri, mengapa anak kita tiba-tiba menjadi trouble maker, nyari gara-gara dan ngeseliiin, mungkin karena kita kurang memberinya perhatian atau mungkin karena kita tidak ada di saat dia membutuhkan dan merindukan kita. Kemudian, yuk mari kita hindari pemberian julukan yang bermakna negatif pada anak-anak kita. Mungkin di dalam artikel sebaiknya dirubah Fathir semakin cerdas atau Fathir kini semakin dewasa atau Fathir sepertinya sangat merindukan mamanya sehingga dia seperti itu.

Semoga kritikan ini tidak bersifat menggurui yaa… (hanya ingin intropeksi diri, belajar dan berusaha menjadi ibu yang baik buat anak-anakku kelak… 🙂

Nah, yang ini bukan kritikan ya, ini tambahan ilmu untuk kita semua semoga bermanfaat dalam mendidik anak.

Menurut dr. Yahya Wardoyo, SKM seorang International Facilitator di bidang Community Development yang juga lulusan fakultas kedokteran UI di dalam blognya, sebenarnya anak tidak merasa dia adalah nakal, pembuat masalah, pencari gara-gara atau sering membuat kesal. Anak melakukannya, karena ada alasannya tetapi kita (orangtua) belum mengetahuinya sehingga muncullah istilah anak nakal atau trouble maker atau sejenisnya, anak bias saja melakukan protes atau membantah karena rasa ingin taunya yang tinggi, bukan asal membantah lebih ke “reasoning” mengapa ga boleh ini, mengapa harus begitu, apa sebabnya kalau begini, dan seterusnya.

Menurut dr. Yahya Wardoyo, SKM, strategi dalam mengelola anak nakal atau trouble maker atau sejenisnya adalah:

Gambar diambil dari sini

1. Keteladanan orang tua dan peran nilai (value)

Anak tumbuh menjadi anak “baik” atau “nakal” sebagian besar karena mereka melihat teladan, baik dari orang tua maupun lingkungan. Maka, jadilah teladan yang baik, bukan cuma jika sedang di depan anak, melainkan memang menjadi nilai (value) dalam keluarga. Antara lain, keluarga selalu menjaga kejujuran, mempunyai empati dan suka menolong mereka yang sedang tertimpa masalah, menghargai sportifitas, dan seterusnya. Ini adalah nilai (value) yang perlu dibudayakan, dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh orang tua sehingga anak akan terbawa dan juga mempunyai value yang tinggi.

Biasakanlah menghargai hal-hal yang memang baik, sering-seringlah berbagi kisah-kisah keseharian yang menguatkan perilaku terpuji, diskusikan secara terbuka dan bebas, kendalikan bersama tekanan hal-hal yang potensial merusak, seperti kemungkinan hadirnya acara-acara TV yang tak bermutu, perilaku sesama anak atau bahkan rekan orang tua yang memberikan teladan buruk (walaupun sedang tren). Yakinkan bahwa anak yang “baik” adalah yang dalam segala keadaan, termasuk ketika orang tua sedang tidak bersama mereka, mereka tetap “baik” karena mereka pada dasarnya adalah baik.

Social Effect of Family Stress on Children

Gambar diambil dari sini

2. Mencegah sumber stres dalam keluarga

Ada bentuk-bentuk stres yang perlu dikelola dengan baik.

Stres karena ekonomi rumah tangga: kondisi keuangan hendaknya menjadi urusan bersama sekeluarga (commitment dan concern bersama). Sering anak karena tidak pernah diikutkan dalam merasakan susah payahnya mencari nafkah, apalagi jika lingkungan mereka orang-orang berada, yang tampaknya begitu mudah memperoleh uang, kemudian anak berkecenderungan ingin punya uang dengan mudah.

Stres karena ada “gap” antar-anggota keluarga: selalu adakan waktu bagi setiap orang dalam rumah untuk mengungkapkan segala sesuatu, tanpa merasa tertekan. Sering anak merasa tertekan jika bercerita atau berkeluh kesah kepada orang tua, karena orang tua cenderung menyalahkan, atau cenderung terlalu melindungi. Orang tua juga sering begitu sibuk sampai tak memerhatikan perkembangan kejiwaan anak.

Stres karena krisis wewenang, siapa panutan dalam keluarga. Bagaimanapun wewenang orang tua, sekalipun fleksibel, perlu dihargai setiap anak. Sering anak terbawa arus lingkungan dan cenderung menjadikan salah satu tokoh lingkungan (di luar orang tua) – yang belum tentu baik sebagai panutan.

Komunikasikan perasaan, empati, bukan sekadar kata-kata dan hubungan karena rutinitas belaka. Sering orang tua memperlakukan anak, atau antara ayah dengan ibu dan sebaliknya tidak dengan kehangatan dan perasaan, “karena sudah sangat terbiasa”. Segalanya menjadi suatu rutinitas belaka, tak ada lagi sentuhan kehangatan antar-anggota keluarga.

Kelangsungan dan beresnya kehidupan rumah tangga, termasuk urusan sesehari rumah tangga adalah tanggung jawab bersama, bukan cuma tanggung jawab ibu. Sering anak karena tak terbiasa mendapat tanggung jawab dalam mengelola rumah tangga lantas menganggap ibu sebagai “pembantu rumah tangga yang wajib memberesi urusan rumah”, sementara ayah adalah “tukang mencari nafkah yang wajib mencukupi kebutuhan diri sang anak” belaka. Pembagian tanggung jawab dalam mengurusi rumah tangga akan melatih mereka menghayati bahwa rumah tangga adalah tanggung jawab bersama.

a family eating a meal together, a family in the park together, a child and adult painting and 3 children on play equipment

Gambar diambil dari sini

3. Mencegah pengaruh merusak dari lingkungan

Sering anak menjadi nakal dan agresif, atau menjadi depresif karena lingkungan, misalnya karena adanya anak-anak lain atau lingkungan yang sering memperolok-olok (bullying). Bullying bisa bergradasi dari ringan, sekadar olok-olok, misalnya “si tonggos” atau “anak mami”, sampai ke gradasi berat berupa teror mental dan perlakuan fisik termasuk penyiksaan.

Bagaimana mengatasinya atau mencegahnya?

Bullying bisa terjadi di mana saja; baik di sekolah maupun dalam lingkungan pergaulan. Orang tua sebaiknya menyiapkan anak, memberi tahu mereka bahwa sekali waktu mereka bisa menjadi sasaran bullying. Dan orang tua meyakinkan, agar anak tidak ragu bersikap terbuka karena orang tua siap mendengarkan. Tidak usah sampai “merasa menjadi anak mami” atau “tumbak cucukan” jika anak melapor, yakinkan mereka bahwa Anda akan bertindak bijaksana, tidak ngawur apalagi emosional dan kompulsif.

Gambar diambil dari sini

4. Mencegah terjadinya krisis kepercayaan

Orang tua bisa gelisah dan khawatir ada “apa-apa” dengan anaknya, lebih-lebih saat mereka memasuki masa remaja, entah terjebak dalam narkoba, atau pergaulan dan seks bebas, atau komplotan dan geng yang merusak. Beberapa orang tua melakukan pengintaian (memata-matai) kalau-kalau….

Tetapi, banyak bukti menunjukkan, memata-matai anak sendiri bisa berbahaya, bisa merusakkan citra “saling percaya”; menimbulkan krisis kepercayaan. Anak lalu cenderung bahkan semakin menjauh dan semakin sulit dikendalikan. Sering kali, kekhawatiran orang tua justru memperparah masalah anak. Beberapa ahli menyarankan memberikan kepercayaan penuh, kemudian bersepakat jika terjadi sesuatu, segera dibicarakan secara terus terang. Anak diyakinkan bahwa orang tua tetap merupakan tempat bertanya, tempat “lari” yang aman, dan bahwa orang tua tidak akan marah secara sewenang-wenang.

Gambar diambil dari sini

Anak akan lebih matang lewat “reasoning” dan bukannya dengan dimata-matai. Lagi pula, secermat-cermat orang tua memata-matai anak, masih lebih pintar anak untuk menyembunyikannya dari orang tua, jika mereka merasa orang tua adalah figur yang “menakutkan” dan bukannya figur yang “bersahabat”, kemana lagi mereka akan mengadu dan bercerita tentang masalah mereka.

Strategi yang disampaikan beliau cukup jitu dan layak untuk dicoba….

Akhir kata, yuk sebagai orangtua terutama ibu yang memiliki tanggungjawab dalam mendidik anak, kita sama-sama belajar dan berusaha untuk tidak buru-buru memvonis bahwa anak kita “tidak bisa diandalkan, nakal, pembuat masalah dan sejenisnya”. Mari kita lebih bijak dalam mendidik dan membesarkan anak, agar anak-anak kita bisa bertumbuh dengan baik dan wajar dan bisa meraih cita-cita mereka,  sukses dunia dan akhirat dalam kehidupannya.

Tulisannya ini kupersembahkan sebagai wujud peduli dan rasa sayangku pada Fathir “anak yang cerdas”.

Gambar ini diambil dari sini

Terimakasih mbak Erry atas artikelnya, aku jadi bisa belajar banyak hal terutama kelak dalam mendidik anak..hehehehe….muachh… Semoga kita kelak bisa menjadi ibu yang terbaik dalam mendidik dan membesarkan anak-anak kita, aamiin 🙂